Sungguh miris rasanya ketika membaca komen mengenai banyaknya opini2 negatif ttg MUI seperti bubarkan saja MUI, MUI adalah lembaga bentukan orde baru, tidak percaya ama MUI, bodo amat ama MUI dan beberapa komen yg memojokkan legitimasi MUI. Hal ini terjadi sebagai implikasi banyaknya fatwa2 yg meresahkan dan membingungkan masyarakat, seperti fatwa “Haram merokok” oleh PP Muhammadiyah (2010), fatwa “Haram mengucapkan selamat natal” oleh MUI (1981), fatwa “Haram Facebook” oleh Pondok Pesantren Putri Mubtadi-aat, Lirboyo (2009), fatwa aliran sesat Syiah (1983) Ahmadiyah (1980/2005) oleh MUI, fatwa “Haram Infotainment” oleh PBNU (2006), fatwa “Haram Mengemis” (2009) oleh MUI Sumenep, fatwa “Haram Golput” (2009) dan banyak fatwa2 lainya,, belum lagi beberapa fatwa2 yg dkeluarkan dinegara2 luar sprti Malaysia, Arab Saudi, Mesir dan lain lain.. yg semakin meresahkan masyarakat, dtambah dgn pandainya PERS memanfaatkan momen tersebut.
MUI sendiri memiliki sejarah yg sangat panjang yg berdiri pada tanggal 26 Juli 1975/ 7 Rajab 1395 sebagai hasil musyawarah para ulama dan cendikiawan antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. MUI sendiri memiliki sekitar 11 komisi yg salah satunya adalah Komisi FATWA yg terdiri dari bidang Aqidah dan aliran keagamaan, bidang ibadah, bidang sosial dan budaya, bidang pangan obat2an dan IPTEK. Secara logika dan historis tdk bs dnafikan bahwa lahirnya MUI adalah atas semangat bersama ORMAS Islam di Indonesia demi persatuan dan kesatuan bangsa dlm membimbing umat menghadapi masalah2 sosial.
Kalau kita menilik dari definisi FATWA itu sendiri, ianya adalah jawaban mufti terhadap masalah keberagamaan yg diajukan oleh perorangan/lebih dan tdk mempunyai kekuatan yg memaksa, sehingga statusnya sangat berbeda dgn vonis atopun hukum, kecuali dgn syarat2 tertentu dmana adanya persetujuan (consensus) bersama antara para ulama (ijma’) yg merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Kesepakatan ulama pun boleh berubah tergantung banyak faktor seperti lingkungan, validitas data, teknologi dan lain-lain..
Lantas yg jd persoalan adalah kenapa imej MUI dmasyarakat dewasa ini sangat buruk, apakah krn MUI tdk kompeten dlm melaksanakan tugasnya (khususnya FATWA) ato masyarakat merasa tdk perlu akan kehadiran MUI krn mereka sdh lbh tahu dan pintar dri MUI itu sendiri. Seringkali yg terjadi di masyarakan setelah MUI mengeluarkan fatwa adalah respons negatif, tanggapan yg tdk sopan serta kritik2 pedas yg harusnya lbh dcermati dahulu. Atas dasar apa kita menafikan ato menolak suatu fatwa tersebut?? kebanyakan org akan menjawab yaitu berdasarkan akal dan pikiran. Argumentasi yg bagus dan bsa dterima oleh khayalak umum, tetapi perlu dbuktikan dulu kebenarannya, sprti kasus dlm teori gravitasi yg berhubungan dgn SAINS ini; Apakah masuk akal pernyataan ini klo kita berusaha mencermatinya dgn akal pikiran semata;
“suatu benda yg memiliki berat yg berbeda2, let’s say A=10kg B=100kg maka kedua benda tersebut akan memiliki kecepatan yg sama apabila dijatuhkan“,
tentu tidak logik bukan; tetapi brdskan hukum Galilleo maka pernyataan tersebut menjadi masuk akal (logik), akan tetapi menurut hukum gravitasi Newton kedua benda tersebut akan jatuh berbarengan tetapi percepatannya sdkt berbeda sehingga tdk tertangkap oleh mata (msh bener), lantas klo kita membahas dgn teori relativitasnya Einstein akan terlihat perbedaan yg mencolok krn teori ini tdk sesuai dgn teori Newton yg tdk menjelaskan pengaruh gelombang elektromagnetik, dn kmudian dlm perkembangannya teori kuantumnya Planck menjadi pedoman dlm membahas ketepatan ukuran dlm masalah gravitasi, dr kasus ini bs kita simpulkan kelogikan suatu akal pikiran dlm beberapa kasus selalu merujuk kpd teori2 dasarnya, meskipun pada perkembangannya akan selalu berubah2 seiring dgn kemampuan manusia yg smakin bertambah..
Semua teori yg dhasilkan tersebut tetap saja tetap tdk menjadi kebenaran yg mutlak walaupun sdh melalui proses research (ijtihad) yg sangat intense (keras). Cth lain adalah teori Darwin ttg evolusi berdasarkan seleksi alam (natural selection), kmudian teori evolusi Mendel ttg genetik (inheritance) yg menyanggahnya sampai teori synthesis yg dpelopori oleh Fisher membawa kemajuan biologi ttg keberadaan DNA menerangkan kekurangan dlm teori mendel; jadi kl lah persoalan penyanggahan fatwa MUI hanya melibatkan akal semata maka hal tersebut bs dkategorikan sebagai tindakan yg sangat sembrono, karena berdasarkan 2 cth di atas saja telah terjadi beberapa perubahan utk penjelasan fenomena2 sama dan serupa tetapi dgn teori2 yg berubah2, masalah sosial jg tdk lepas dr perubahan ini seperti sejarah panjang demokrasi yg mengikuti perkembangan jaman.
PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram merokok dgn alasan/dalil pada surat Al a’raf 157, An Nisa 29, Al Isra 26-27, dll..
http://nasional.vivanews.com/news/read/136276-enam_dalil_fatwa_haram_rokok
Kemudian masyarakat sangat resah dan bingung, terutama buruh dan petani tembakau yg dlm posisi hidup dan mati. Persoalan tersebut kemudian dmanfaatkan oleh sebagian org yg liberal atopun pihak2 yg berkepentingan utk mendeskreditkan legalitas MUI; pdhl persoalan para buruh dan petani tembakau tersebut bs kita samakan (qiyas) dgn kondisi seseorang yg sangat kelaparan di suatu hutan dan ternyata makanan yg bs dmakan hanya seekor BABI, maka hal tersebut dbolehkan; ato ketika seorang muslim tdk bs menemukan air utk wudhu’ maka dperbolehkan tayamum; ato ketika kita kesulitan dan tdk mampu solat dgn berdiri tegak maka boleh duduk dan seterusnya berbagai kemudahan yg dberikan oleh Islam brdsrkan kondisi2 tertentu. Sehingga ketika kita tdk setuju akan suatu fatwa (nasihat/jawaban) maka hendaknya kita meminta kejelasan kepada seorang yg lbh paham dgn dsertai oleh dalil2 dari Alquran dan Sunnah sebagai sumber hukum kita yg utama alih2 lsg mengecam ulama dgn mengatakan mereka bodoh dan sebagainy tp pada kenyataannya mgkn malah sebaliknya. Karena diskusi tersebut tetap memerlukan suatu TEORI yg melandasi keluarnya suatu argumen dan proses diskusinya hendaknya jg menggunakan parameter yg sama.
Meminum bir, tuak dan minum2an memabukkan lainnya adalah haram, lantas muncul pertnyaan; “Bagaimana jika ada org yg minum tp tdk mabuk, maka hal tersebut boleh dunk?“. Suatu hukum jelas melihat kepentingan umum ato org banyak, sdh menjadi standarisasi bahwa dominan/mayoritas org ketika meminum bir, tuak, khmr, minuman beralkohol lainnya pst bakal mabuk sehingga dgn mempertimbangkan kepentingan org banyak maka apapun namanya kl sdh termasuk kategori memabukkan maka akan menjadi haram krn dpt merugikan kepentingan umum bgitu jg dgn rokok, kecuali ada sanggahan brdskn data2 akurat bahwa hal tersebut di dlm komunitas tempatan ternyata tdk membahayakan sama sekali, Klo dlihat dari sisi sejarahnya rokok pada awal penyebarannya dtimur tengah terutama Turki dkategorikan makruh, krn dqiyaskan dgn bawang yg mengeluarkan bau2an tdk sedap, tetapi kemudian seiring berkembangnya jaman, segala sesuatu pun menjadi berubah terutama dlm teknologi dan kita harus ikt memperhatikan hal tsbt.
Perbedaan2 fatwa antara satu negera dgn negera lainnya pasti bakal terjadi seperti larangan yoga di Malaysia, beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” dan sepatu hak tinggi dan mgkn yg plg heboh adalah larangan baju MU musim 2010/2011 di Malaysia dan jg larangan ntn film 2012 tahun lalu di Indonesia. Perbedaan adalah anugerah tetapi perlu dcermati dahulu, perbedaan dlm hal apa? apakah masalah aqidah, maka hal tersebut harus dbetulkan, tdk ada tawar menawar dlm hal itu, seperti Ahmadiyah, syia’h dan jg JIL (yg menganggap smua agama sama) maka hrs dkategorikan sesat tetapi klo dlm masalah fiqh, maka hal tersbut tdk apa, tergantung keyakinan hati kita mantab kemana.
(http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=549)
Kesimpulannya, perbedaan fatwa mgkn terjadi krn pengaruh kultur, adat istiadat, lingkungan, kebiasaan dan faktor2 eksternal serta internal lainnya; biasanya ulama2 yg mngeluarkan fatwa utk persekitaran mereka saja dgn cakupan wilayah tertentu, sehingga hal tersebut jgnlah menjadikan kita bingung. Kmudian, ketidakmengertian dan ketidakpuasan ttg fatwa hendaknya jgn dhadapi dgn akal pikiran serta mindset negatif semata tetapi hendaknya dgn niat tulus suci demi agama mencari dalil2 Naqli (Al qur’an & Sunnah) yg dperkuat oleh dalil Aqli (Akal & Pikiran) utk menyanggahnya atopun menyempurnakannya, krn sikap seorang muslim adalah menasehati sesamanya dgn cara yg baik dan sopan.
Semoga dgn satu visi yg kuat antara umat dan MUI, kita sama2 membangun dan menjaga islam dari politik pecah belah (namimah) yg berusaha dlakukan oleh pihak2 yg ingn menghancurkan kebersamaan dgn menjelaskan suatu duduk perkara dgn hanya mengambil cth2 separo tetapi tanpa melibatkan teori dan pedoman yg relevance (Al qur’an dan Sunnah) dgn menggembar-gemborkan kepentingan Akal & Pikiran (part of this argument is true, but it’s should be discussed further) dan jg menciptakan mindset yg kontradiktif seperti menyama2kan islam dgn protestan, membesar2kan issue yg sebenarnya bkn tujuan sang pembuat fatwa dll. Hendaknya jg kita mencermati dgn hati yg tenang isi fatwa tersebut secara baik2, tanpa langsung me-generalize-nya ke suatu objek seperti fatwa facebook, yg pd kenyataannya cm lbh kepada tujuan penggunaan facebook itu sendiri dan jg fatwa haram infotainment yg merujuk kepada konten yg bersifat ghibah (aib), fitnah (bohong) dan namimah (adu domba). Saran utk MUI sih sebenarnya simple aja, hendaknya alasan2 serta dalil2 yg menjelaskan suatu FATWA betul2 dshare kpd rakyat, jgn hanya dgn mengatakan banyak dalil2nya, krn hal itu hanya semakin membingungkan rakyat semata. Kl semuanya menjadi transparan dan jelas, saatnya bgi kita utk mendiskusikannya demi kesatuan dan persatuan umat islam.
Dri Nu’man bin Basyir ‘’Sesungguhnya apa-apa yang halal itu telah jelas dan apa-apa yang haram pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang syubhat (sebagian halal, sebagian haram), kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barangsiapa yang memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barangsiapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, misalnya semacam orang yang menggembalakan binatang di sekitar daerah larangan maka mungkin sekalin binatang makan di daerah larangan itu.Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu yang haram jangan didekati)‘’. (Bukhari dan Muslim)
“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui“. (an-Nahl: 43)
wallahualam
“Cm Pemikiran Dangkalku”
Muharman Lubis
-07/07/10-
Tambahan dari saya, MUI bukan organisasi asal-asalan, yang saya ketahui itu adalah organisasi yang berisikan orang-orang yang berpendidikan. Biarkan MUI menjalankan tugasnya, karena memang itu kewajiban ulama untuk melindungi umat dari terjerumus ke dalam kebatilan. Semua Fatwa yang dikeluarkan MUI sebaiknya janganlah dicerca, tetapi mari kita telaah bersama. Kalau anda tidak setuju, tidak usah menghujat, anda jalankan apa yang anda rasa benar, tinggal urusan anda dengan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong berikan komentar Anda !