Fitrah di dalam Al-Quran
Fitrah dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 20 kali. Masing-masing ayat yang memuat term fitrah memiliki bentuk, kategori, subjek, objek, aspek dan makna tersendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini:
Berdasarkan tabel di bawah maka term fitrah dapat dipahami sebagai berikut:
No Tempat Ayat Bentuk Kata Kategori Ayat Subjek Ayat Objek Ayat Arti Ayat
1 Al-An’am:79 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
2 Al-Rum:30 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
3 Hud:51 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
4 Yasin:22 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
5 Zukhruf:27 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
6 Thaha:72 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
7 Al-Isra’:51 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
8 Al-Anbiya’:56 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
9 Maryam:90 Fi’il Mudhari’ Makkiyah Allah Langit Belah
10 Asy-Syuura:5 Fi’il Mudhari’ Makkiyah Allah Langit Belah
11 Al-Infithar:1 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit Belah
12 Asy-Syuura:11 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
13 Al-An’am:14 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
14 Ibrahim:10 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
15 Fathir:1 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
16 Yusuf:101 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
17 Al-Zumar:46 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
18 Al-Rum:30 Isim Masdar Makkiyah Allah - -
19 Al-Mulk:3 Jama’ Makkiyah Allah Langit Belah
20 Al-Muzammil:18 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit Belah
1) Kata fitrah (al-fitrah) merupakan bentuk masdar dari kata fathara. Dengan segala perubahan bentuknya, ia terulang dalam Al-Quran sebanyak 20 kali yang tersebar di dalam 17 surat.
2) Semua surat yang di dalamnya memuat kata fitrah diturunkan di Makkah, sehingga surat ini disebut dengan surat Makkiyah. Isi surat Makkiyah adalah tentang masalah-masalah keimanan dan penyembahan yang bersifat ketauhidan. Dengan demikian konsep keimanan dalam fitrah masih bersifat universal dan potensial, bukan dalam bentuk spesifik dan aktual. Spesifikasi dan aktualisasi fitrah islam hanya dapat diperoleh melalui penelaahan suatu ayat tertentu, bukan dari generalisasi semua ayat.
3) Subjek fitrah adalah Allah SWT, karena hanya Dia Zat al-Fathir (pencipta).
4) Objek fitrah adalah (a) khusus manusia (al-nas), (b) langit-bumi (samawat wa ardh), dan (c) langit (samawat). Dengan kategori ini, konsep fitrah dapat dikaitkan dengan semua penciptaan alam, baik alam makro (langit-bumi) maupun alam mikro (manusia).
5) Makna fitrah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-syaqq (pecah/belah) yang ditujukan pada objek langit dan al-khilqah (penciptaan) yang ditujukan pada objek manusia.
Fitrah di dalam Hadits
Fitrah diungkap dalam hadits dengan berbagai bentuk dan makna. Masing-masing hadits memiliki topik dan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis di sini hanya menampilkan beberapa hadits dalam bentuk terjemah ke bahasa Indonesia. Walaupun kuantitasnya masih relatif minim, namun diperkirakan mampu mengkaver keseluruhan kata-kata fitrah dalam hadits. Adapun hadits yang dimaksud adalah :
Hadits pertama :
“Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits kedua :
“Sepuluh macam yang termasuk dalam kategori fitrah, yaitu (1) mencukur kumis, (2) membiarkan jengggot panjang dan lebat, (3) bersikat gigi/bersiwak, (4) menghirup air untuk membersihkan hidung, (5) menggunting kuku, (6) membersihkan jari-jemari, (7) mencabut bulu ketiak, (8) mencukur bulu kelamin, (9) membersihkan kencing dengan air, dan (10) berkumur-kumur.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah)
Hadits ketiga:
“Zakat fitrah itu diwajibkan sebanyak segantang kurma atau segantang gandum bagi setiap orang Muslim merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita.” (H.R. Al-Bukhari dari Ibn Umar)
Hadits keempat:
“Shalat Idul Adha itu sebanyak dua rakaat, shalat Idul Fitri itu sebanyak dua rakaat, shalat orang yang berpergian itu sebanyak dua rakaat, shalat Jumat itu sebanyak dua rakaat.” (H.R. Al-Nasa’I dari Umar ibn al-Khattab)
Hadits kelima :
“Doa Nabi SAW: Ya Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, Tuhan segala sesuatu dan sesuatu itu menjadi milik-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Aku minta perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsu dan syaitan serta kroni-kroninya.” (H.R. Al-Darimiy dari Abu Hurairah)
Berkenaan beberapa hadits di atas, maka dapat dipahami sebagai berikut :
Pertama, hadits pertama berkaitan dengan masalah takdir dan status anak yang dilahirkan, baik dari keturunan mukmin atau kafir. Konsep fitrah pada hadits ini mengisyaratkan adanya takdir manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam kondisi kemusliman. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi psikis manusia yang berpotensi untuk ber-Islam.
Kedua, hadits kedua berkaitan dengan topik kesucian fisik manusia. Dalam hadits di atas, terdapat sepuluh macam yang termasuk bagian kefitrian (kesucian). Barangsiapa yang mau melaksanakan sepuluh macam itu maka fisiknya berada dalam kefitrian. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi kesucian fisik manusia.
Ketiga, hadits ketiga berkaitan dengan topik zakat fitrah, yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap umat Islam pada bulan Ramadhan, baik kecil maupun besar, laik-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka. Zakat ini berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia, dan dapat menambah kesempurnaan ibadah puasa. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan jenis zakat yang diwajibkan untuk setiap individu Muslim agar jiwanya menjadi fitri (suci).
Keempat, hadits keempat berkaitan dengan topik shalat pada hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul Fitri dua rakaat. Konsep fitrah pada hadits ini lebih dekat diartikan dengan jenis shalat sunnat yang dilakukan setiap satu bulan syawal.
Kelima, hadits kelima berkaitan dengan topik salah satu nama (asma) Allah, yaitu al-Fathir. Nabi Muhammad SAW ketika berdoa terkadang menyebut asma Allah dengan al-Fathir, yaitu Zat Pencipta, sebab hanya Allah yang menciptakan jagat raya ini. Konsep fitrah di sini diartikan dengan “penciptaan”.
Makna Fitrah
a) Makna Etimologi
Fitrah, menurut Ibn Faris dalam “Mu’jam Maqayis al-Lughah”, menunjukkan pada “terbukanya sesuatu dan melahirkannya”, seperti orang yang berbuka puasa. Berdasarkan makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna pokok; Pertama, fitrah berarti al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti al-inkisar (pecah atau belah). Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebut kata fitrah yang objeknya ditujukan pada langit saja.
Kedua, fitrah berarti al-khilqah, al-ijad, atau al-ibda’ (penciptaan). Arti ini terdapat pada 14 ayat yang menyebut kata fitrah. Enam ayat di antaranya berkaitan dengan penciptaan manusia, sedangkan yang lain berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi.
b) Makna Nasabi
Pemaknaan fitrah dari makna nasabi diambil dari beberapa ayat dan hadits Nabi. Pada ayat dan hadits tersebut para mufassir sangat beragam dalam menentukan maknanya. Di antaranya adalah :
Pertama, Fitrah berarti suci (al-thuhr). Menurut al-Awzaiy, fitrah memiliki makna kesucian. Pemaknaan ini didukung oleh hadits nabi yang penulis sampaikan sebelumnya, yakni (1) kata fitrah dalam hadits kedua memiliki makna kesucian fisik manusia. Barangsiapa yang melakukan sepuluh hal tersebut maka fisiknya fitri (suci). (2) kata fitrah dalam hadits ketiga memiliki makna suci, yaitu kesucian harta dan jiwa setelah melaksanakan zakat fitrah. Barangsiapa yang telah mengeluarkan zakat fitrah maka harta dan jiwanya menjadi fitri (suci).
Kedua, fitrah berarti potensi ber-Islam (al-din al-Islamiy). Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama Islam. Sabda Nabi SAW :
“Bukankah aku telah menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang Allah telah menceritakan kepadaku dalam kitab-Nya, bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam yang suci.” (H.R. Iyadh ibn Khumair)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fitrah merupakan potensi bawaan setiap manusia. Potensi bawaan ini ada sejak zaman permulaan penciptaan yaitu pada alam perjanjian (‘alam al-mitsaq). Potensi bawaan itu berupa agama Islam, yaitu mengenal (ma’rifah) dan mencintai (mahabbah) kepada Allah SWT. Potensi ini tidak hanya diberikan pada keturunan Muslim, tetapi juga diberikan kepada seluruh manusia, termasuk keturunan kafir.
Ketiga, fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (tauhid Allah). Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia cenderung untuk mengesakan Tuhan dan berusaha secara terus-menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa tauhid walaupun masih dalam alam ruh. Hal ini telah digambarkan dalam dialog antara Allah dan ruh, yaitu :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka menjawab, Tentu (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Q.S. al-A’raaf:172)
Keempat, fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah) dan kontinuitas (al-istiqomah). Pemaknaan ini dilontarkan oleh Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar. Dalam hadits qudsi dinyatakan :
“Sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (continue dan selamat). Maka syaitanlah yang menarik pada keburukan.” (H.R. Ahmad ibn Hambal dari ‘Iyadh ibn Humair)
Kelima, fitrah berarti perasaan yang tulus (al-ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Di antara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam menjalankan segala aktifitas. Konsep inilah yang dimaksud dengan ikhlas sehingga dapt disimpulkan bahwa ketidakikhlasan merupakan penyelewengan fitrah manusia. Nabi SAW bersabda :
“Tiga perkara yang menjadikan keselamatan, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah yang manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa perisai.” (H.R. Abu Hamid dari Mu’az)
Keenam, fitrah berarti kesangggupan untuk menerima kebenaran (isti’dad li qabul al-haq). Secara fitri manusia lahir cenderung berusaha mencari kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Ketujuh, fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah (syu’ur li al-‘ubudiyah) dan makrifat kepada Allah. Dalam pemaknaan ini, aktifitas manusia merupakan tolak ukur pemaknaan fitrah. Fitrah merupakan watak asli manusia, sedangkan watak itu
terlihat melalui aktifitas tertentu, yaitu ibadah.
Kedelapan, fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan (al-sa’adat) dan kesengsaraan (al-syaqawat) hidup. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Abbas, Ka’ab ibn Quradhiy, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad ibn Hambal.
Kesembilan, fitrah sebagai tabiat atau watak asli manusia (thabi’iyah al-insan). Watak atau tabiat menurut Ikhwan al-Shafa adalah daya dari daya nafs kulliyah yang menggerakkan jasad manusia. Makna inilah yang lebih tepat untuk mengungkap pembagian, natur, dan aktifitas fitrah.
Kesepuluh, fitrah berarti sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan untuk setiap manusia sebelum dilahirkan. Bentuk-bentuknya adalah asma’ al-husna yang berjumlah 99 nama-nama terindah. Firman Allah SWT :
“Dan Aku meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.S. Al-Hijr:29)
c) Makna Istilah menurut Ahli Pendidikan Islam
Ada beberapa pengertian tentang fitrah yang dikemukakan oleh para ahli. Masing-masing definisi memiliki sudut pandang yang berbeda-beda.
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh al-Raghib al-Asfahaniy :
”Fitrah adalah mewujudkan dan mengadakan sesuatu menurut kondisinya yang dipersiapkan untuk melakukan perbuatan tertentu.”
Pengertian ini masih bersifat umum dan tidak mencerminkan kejelasan maksudnya. Fitrah dianggap sesuatu (al-sya’i). Sesuatu di sini belum jelas apakah berupa disposisi (al-isti’dad), karakter (al-thab’u), sifat (al-sifat), atau konstitusi (al-jibillat). Semuanya masih bersifat umum. Fitrah juga diciptakan menurut kondisinya (al-hai’at). Kondisi di sini entah berupa keselamatan, istiqomah, keislaman, kekufuran, dan sebagainya. Semua masih bersifat umum. Fitrah juga dipersiapkan untuk melakukan “perbuatan sesuatu”. Perbuatan tertentu ini entah berupa berpikir, berbuat, atau berperasaan. Semuanya juga masih belum jelas. Karena itu perlu dicarikan lagi pengertian yang lain.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur dan al-Jurjaniy :
“Fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama.”
Pengertian kedua ini menjelaskan dan membatasi pengertian fitrah yang pertama. Dalam pengertian ini, fitrah dianggap sebagai suatu kondisi (halat) konstitusi dan watak manusia. Konstitusi manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Demikian juga watak manusia memiliki kondisi baik dan buruk. Kondisi ini sudah ada sejak awal penciptaan manusia. Tujuan penciptaan konstitusi dan watak tersebut adalah agar manusia mampu menerima agama. Sedangkan agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah al-Islam. Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan memiliki potensi untuk menerima agama. Agama di sini tidak terbatas pada agama Islam saja, melainkan juga mencakup agama-agama yang lain. Konstitusi dan watak yang selamat adalah yang menerima agama Islam, sebab agama Islam-lah yang merupakan agama fitri manusia.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Abu Ayyub ibn Musa al-Husain :
“Fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati semua yang ada (di dunia) sewaktu awal penciptaannya.”
Definisi ketiga ini membatasi makna fitrah sebagai suatu “sifat”. Sifat di sini berlaku untuk semua makhluk di alam raya. Misalnya malaikat memiliki sifat (fitrah) yang baik, taat, bertasbih, dan tidak pernah melanggar aturan Allah SWT. Sedangkan syaitan berfitrah sebagai makhluk yang buruk, sesat, durhaka, dan selalu menyesatkan manusia. Hewan berfitrah sebagai makhluk yang berinsting dan berhawa nafsu. Sementara manusia berfitrah sebagai makhluk yang memiliki semua fitrah yang dimiliki oleh semua yang ada di alam raya ini. Fitrah atau sifat ini telah diciptakan oleh Allah SWT sejak awal penciptaannya.
Keempat, definisi yang dikemukakan oleh Muhammad ibn Asyur yang dikutip oleh M. Quraish Shihab :
“Fitrah adalah suatu sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang khusus untuk jenis manusia adalah apa yang diciptakan Allah padanya yang berkaitan dengan jasad dan akal (ruh).”
Dalam definisi tersebut, nampak bahwa fitrah memiliki ruang lingkup yang luas. Fitrah mencakup totalitas apa yang ada di dalam alam dan manusia. Fitrah yang berada di dalam manusia merupakan substansi yang memiliki organisasi konstitusi yang dikendalikan oleh sistem tertentu. Sistem yang dimaksud terstruktur dari komponen jasad dan ruh. Masing-masing komponen ini memiliki sifat dasar, natur, watak, dan cara kerja tersendiri. Semua komponen itu bersifat potensial yang diciptakan oleh Allah sejak awal penciptaannya. Aktualitas fitrah menimbulkan tingkah laku manusia yang disebut dengan “kepribadian”. Kepribadian inilah yang menjadi ciri unik manusia.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PENUTUP
Fitrah manusia sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya itu harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan al-kamil). M. Natsir menyebutkan bahwa pengembangan fitrah adalah salah satu tugas risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Setiap usaha pengembangan fitrah itu harus dilaksanakan secara sadar, berencana, dan sistematis. Secara eksplisit dapat dipahami dari firman Allah SWT di dalam Al-Quran, yaitu :
a. Allah SWT menghendaki demikian sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya kamu akan meningkat maju setahap demi setahap.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 19)
b. Sunatullah (hukum alam ciptaan Allah) juga menghendaki demikian. Segala sesuatu di dalam alam berproses menurut hukum tertentu yang disebut sunatullah. Sebagaimana firman Allah :
“Allah yang telah menciptakan segala sesuatu lalu diproses-Nya ke arah sempurna.” (Q.S. Al-A’la: 2)
Pengembangan fitrah manusia harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang. Apabila semua fitrah tersebut tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan berimbang maka tidak akan tercapai manusia yang sempurna (insan al-kamil), bahkan dapat mendatangkan kehancuran bagi manusia. Isyarat Al-Quran mengatakan bahwa :
1) Manusia yang fitrah agamanya tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi kafir, maka ia adalah sejahat-jahat hewan melata.
Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya sejahat-jahat hewan yang melata menurut Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka tidak mau beriman.” (Q.S. Al-Anfal: 55)
2) Manusia yang fitrah intelektualnya tidak dikembangkan, sehingga ia menjadi bodoh, maka ia adalah lebih sesat dari hewan.
“Dan sesungguhnya telah Kami sediakan isi neraka itu kebanyakan dari jin dan manusia, bagi mereka ada akal tetapi tidak dapat berpikir dengannya, dan bagi mereka ada mata tetapi tidak dapat melihat dengannya dan baginya ada telinga tetapi tidak dapat mendengar dengannya, mereka itu adalah seperti hewan, bahkan lebih sesat, mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-A’raf: 179)
Walaupun hidayah aql dan qalb merupakan hidayah yang dapat mengembangkan fitrah manusia, namun apa yang dapat diperoleh aql dan qalb tersebut bersifat relatif, maka dengan hidayah Din dapat diperoleh kebenaran yang mutlak dan hakiki.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
• al-Ashfahaniy, Al-Raghib.1972. Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Quran. Beirut:Dar al Fikr.
----- 1872. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Quran. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Baghdadiy, Alau al-Din Ali Mahmud. Tafsir Khazin Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari. Semarang:Thaha Putra.
• al-Darimiy, Ibn Muhammad ‘Abd Allah. Sunan al-Darimiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Husain, Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa.1992. Al-Kulliyah; Mu’jam fi al-Mushthalah wa al-Furuq al-Lughawiyah. Beirut:Muassasah al-Risalah.
• al-Jurjaniy, Syarif Ali ibn Muhammad. 1988. Kitab al-Ta’rifat. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
• al-Malikiy, Ahmad Shawiy. Hasyiyah ‘Alamah Shawiy ‘ala Tafsir Jalalain. Jakarta:Dar al-Ahya’ wa Quthub.
• al-Maraghiy, Musthafa. Tafsir al-Maraghiy. Libanon:Dar al-Ahya’.
• al-Nasa’I, Imam.1930. Sunan al-Nasa’I. Beirut:Dar al-Fikr.
• Al-Qurthubiy, Ibnu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad Anshari. Tafsir al-Qurthubiy. Cairo:Dar al-Sa’ab.
• al-Raziy, Muhammad Fahr al-Din. Tafsir Fahr al-Raziy al-Masyhur bi al-Tafsir Mafatih al-Ghaib. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Shafa, Ikhwan. 1957. Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-Wafa. Beirut:Dar Sadir.
• Faidh Allah, Ilm Zadah. Fath al-Rahman li Thalab Ayat al-Quran. Indonesia:Maktabah Dahlan.
• Ibn Zakariyah, Ibn Faris, Abi al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Cairo:Maktabah Khanjiy.
• Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi. Bandung:Mizan.
• Langglung, Hasan. 1995. Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor:Hizbi.
• Manzhur, Ibnu. Lisan al-‘Arab.1992.Beirut:Dar al-Taras al-‘Arabiy.
• Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam. Jakarta:Darul Falah.
• Muslim, Imam.1981. Shahih Muslim bi Syarh Imam al-Nawawiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• Rahman, Munawwwar. 1995. Kontekstual Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:Paramadina.
• Sa’ad, Al-Thablawiy Mahmud.1984. Al-Tashawwuf fiy Taras ibn Taimiyat. Mesir:al-Hai’at al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab.
• Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung:Mizan.
• Tim Depag RI. 1987. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta:Srajaya.
http://hendri-ippm-bw.blogspot.com/2009/08/kata-pengantar-puji-syukur-kami.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong berikan komentar Anda !